Begini Penjelasan LBM NU Jawa Timur yang Mengharamkan Karmin dalam Produk Konsumsi: Menurut Hukum, Proses dan Perspektif Fiqh?
Ilustrasi yogurt-ponce_photography/pixabay-
Cochineal adalah serangga mirip belalang yang tidak memiliki aliran darah. Serangga ini banyak ditemukan di Amerika Tengah dan Selatan, terutama di Peru, yang dikenal sebagai produsen karmin terbesar di dunia.
Para peternak cochineal menggunakan tanaman kaktus pir berduri (Genus Opuntia) sebagai sumber makanan karena cocok untuk membudidayakan serangga ini.
adv
Proses budidaya melibatkan induksi pasangan cochineal pada kaktus, sehingga mereka berkembang biak dan menjadi dewasa. Setelah itu, serangga ini dipanen, dikeringkan dengan panas matahari, dan dibersihkan dari bulunya.
2. Penggunaan Karmin dalam Produk Konsumsi
Proses pembuatan karmin dalam produk konsumsi dimulai dengan mengeringkan cochineal dan membersihkannya dari bulu. Kemudian, serangga tersebut dihancurkan menjadi serbuk berwarna merah tua cerah menggunakan mesin.
Ekstrak cochineal ini biasanya dicampur dengan larutan alkohol asam, bahan pelapis, dan pengemulsi untuk menciptakan warna yang diinginkan dan menjaga agar tidak pudar.
3. Hukum Penggunaan Karmin dari Berbagai Madzhab
Mazhab Syafi'i dan Abu Hanifah menyatakan bahwa penggunaan zat pewarna alami dari cochineal dalam produk konsumsi dan kosmetik adalah haram.
Mereka menganggap serangga ini sebagai khabaits (hewan yang menjijikkan), dan hukum ini didasarkan pada Surat Al-A'raf ayat 157 yang mencantumkan larangan terhadap yang khabaits/menjijikkan.
Namun, terdapat perbedaan pandangan dengan mazhab lain terkait hukum penggunaan karmin dalam produk konsumsi.
Kitab-kitab Fiqh menyebutkan bahwa serangga dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang darahnya mengalir dan yang tidak. Menurut ahli Fiqh, serangga yang darahnya mengalir dianggap najis, sementara yang tidak mengalir dianggap suci.